KAMPAR — Dugaan kejahatan kehutanan berskala besar kembali mencoreng wajah penegakan hukum di Indonesia. Herman Moyan, Ketua Forum Masyarakat Peduli Hutan & Lingkungan Hidup (FMPHLH), memastikan akan segera melaporkan Jimmy, owner CV Makmur Jaya Sentosa, atas dugaan penguasaan dan pengelolaan kawasan hutan negara untuk kepentingan pribadi dengan total luasan mencapai 1.070,59 hektare.
Lahan tersebut tersebar di tiga titik strategis di Kabupaten Kampar, yakni Desa Padang Mutung, Kecamatan Kampar seluas 600 hektare, Desa Kualu, Kecamatan Tambang seluas 284 hektare, serta Desa Perhentian Raja seluas 185 hektare. Aktivitas penguasaan kawasan hutan itu diduga dilakukan tanpa dasar perizinan yang sah.
Ironisnya, meski kawasan tersebut telah disita negara melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) dan diserahkan kepada Agrinas, serta kini dikelola melalui skema KSO oleh Koptan Kampar Jaya Bersama, hingga saat ini belum tampak langkah hukum tegas terhadap pihak yang diduga sebagai pengendali utama penguasaan lahan.
Kondisi ini memantik kemarahan publik. Banyak pihak menilai, penegakan hukum terhadap mafia hutan masih tumpul, sementara kerusakan lingkungan dan hilangnya fungsi hutan terus terjadi.
“Penguasaan kawasan hutan tanpa izin adalah kejahatan serius. Tidak cukup hanya menyita lahan, pelakunya harus diproses pidana agar ada efek jera,” tegas Herman Moyan.
Ancaman Jeratan Hukum
Secara hukum, perbuatan tersebut berpotensi melanggar sejumlah ketentuan pidana, di antaranya:
Pasal 78 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dengan ancaman pidana penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar, bagi pihak yang dengan sengaja menguasai dan mengerjakan kawasan hutan secara tidak sah.
Pasal 110A dan 110B Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang mengatur sanksi berat terhadap korporasi dan pengendali kejahatan kehutanan, termasuk pidana penjara belasan tahun serta perampasan keuntungan hasil kejahatan.
Pertanggungjawaban pidana korporasi, di mana tidak hanya badan usaha, tetapi pemilik dan pengendali perusahaan dapat dimintai pertanggungjawaban hukum.
FMPHLH menegaskan, laporan yang akan dilayangkan tidak hanya menyoroti aspek penguasaan lahan, tetapi juga aliran keuntungan, peran korporasi, serta dugaan pembiaran oleh pihak-pihak terkait.
“Jika negara membiarkan pelaku utama bebas, maka penyitaan lahan hanya menjadi formalitas. Hukum harus menyentuh aktor intelektualnya, bukan berhenti pada tanahnya saja,” kata Herman.
Ia berharap aparat penegak hukum segera bertindak tegas agar kasus ini menjadi preseden penting dalam perang melawan mafia hutan, sekaligus mengirim pesan keras bahwa kejahatan terhadap hutan adalah kejahatan terhadap masa depan bangsa.***Tim
#Satgas PKH #Kebun Sawit Jimmy #Agrinas Palma #Mafia Hutan Riau