Serikat Petani Pasangkayu Laporkan Dugaan Mafia Tanah dan Pelanggaran HAM ke Presiden Prabowo Subianto

Serikat Petani Pasangkayu Laporkan Dugaan Mafia Tanah dan Pelanggaran HAM ke Presiden Prabowo Subianto
Serikat Petani Pasangkayu (SPP) secara resmi mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto,

SULAWESI BARAT--Serikat Petani Pasangkayu (SPP) secara resmi mengirimkan surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, pada 10 Desember 2024. Dalam surat tersebut, SPP melaporkan dugaan praktik mafia tanah dan hutan yang melibatkan beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat, yaitu PT Pasangkayu, PT Mamuang, dan PT Letawa.

Perusahaan-perusahaan tersebut diduga telah melampaui batas Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan serta melakukan pengelolaan lahan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

SPP menuntut evaluasi terhadap status HGU perusahaan-perusahaan tersebut dan pengembalian lahan yang dikuasai secara ilegal kepada masyarakat. Mereka juga meminta pembentukan kebun plasma sebagai bentuk keadilan sosial bagi masyarakat yang terdampak. Selain itu, SPP mendesak agar perusahaan-perusahaan tersebut mengembalikan minimal 10% dari total luas lahan yang dikuasai kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Konflik agraria di Kabupaten Pasangkayu memiliki sejarah panjang yang melibatkan masyarakat lokal dan perusahaan perkebunan kelapa sawit. Salah satu kasus awal terjadi pada tahun 1992 di Dusun Kabuyu, Desa Martasari, Kecamatan Pedongga, ketika warga mulai berselisih dengan PT Mamuang yang memulai pembersihan lahan untuk perkebunan sawit. Seiring waktu, ketegangan meningkat akibat ketidakjelasan batas HGU dan dugaan penyerobotan lahan di luar area konsesi resmi.

Pada 2018, masyarakat kembali melakukan protes terhadap PT Letawa yang diduga telah menanam sawit di luar HGU. Kasus ini berlanjut hingga 2024, ketika pada Oktober lalu, DPRD Kabupaten Pasangkayu menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan masyarakat dan PT Letawa. Dalam pertemuan itu, masyarakat menegaskan bahwa perusahaan telah merampas tanah adat dan lahan pertanian mereka tanpa proses yang transparan.

Selain masalah kepemilikan lahan, SPP juga menyoroti dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat ekspansi perkebunan sawit. Sejumlah hutan lindung yang berfungsi sebagai kawasan resapan air diduga telah berubah menjadi lahan perkebunan, menyebabkan risiko banjir dan berkurangnya sumber daya alam bagi masyarakat sekitar.

Terkait permasalahan ini, SPP menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh perusahaan telah melanggar beberapa dasar hukum, antara lain:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)

Pasal 6 menegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, sehingga tidak boleh digunakan untuk kepentingan yang merugikan masyarakat.

Pasal 15 mengatur bahwa pemegang hak atas tanah wajib memelihara kesuburan tanah dan mencegah kerusakan lingkungan.

2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Pasal 50 ayat (3) huruf a melarang penguasaan dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.

Pasal 78 menyebutkan sanksi bagi pihak yang melakukan perusakan hutan dan penggunaan lahan di luar izin yang diberikan.

3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)

Pasal 36 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak memiliki hak milik pribadi dan hak tersebut tidak boleh diambil secara sewenang-wenang.

Pasal 37 menegaskan bahwa pengambilalihan hak milik hanya dapat dilakukan berdasarkan hukum dan demi kepentingan umum yang sah.

4. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha (HGU)

Pasal 17 menyebutkan bahwa tanah yang telah diberikan HGU tidak boleh digunakan di luar batas izin yang diberikan dan harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.

5. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Pasal 69 menyatakan bahwa penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya dapat dikenakan sanksi administratif hingga pencabutan izin usaha.

Surat yang dikirimkan kepada Presiden Prabowo Subianto juga berisi permohonan audiensi langsung agar SPP dapat menjelaskan lebih rinci mengenai dugaan praktik mafia tanah, penggelapan pajak, serta pelanggaran hak-hak masyarakat. SPP berharap pemerintah segera mengambil langkah tegas guna menegakkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat Pasangkayu yang terdampak konflik agraria ini.

#Pasang Kayu