Ustaz, Dewan, dan Dosa di Bawah Jubah: Spanduk Rakyat Bongkar Nafsu Oknum DPRD Kampar

Ustaz, Dewan, dan Dosa di Bawah Jubah: Spanduk Rakyat Bongkar Nafsu Oknum DPRD Kampar

MAKLUMAT ONLINE. COM- Pekanbaru , Kota Pekanbaru bangun pagi hari ini tidak hanya oleh deru kendaraan, tapi juga oleh jeritan visual di jembatan dan trotoar: spanduk-spanduk mengecam seorang anggota DPRD Kampar yang diduga terlibat skandal seksual. Kata-katanya tak lagi berputar-putar: “PEREMPUAN BUKAN MAINAN — USUT DAN PENJARAKAN!” atau “DPRD Kampar Tak Boleh Jadi Sarang Predator Seksual!” Tampil besar, lantang, dan tanpa basa-basi.

Ini bukan kampanye politik, ini protes. Protes terhadap kebobrokan yang disembunyikan di balik sorban dan seragam dewan. Oknum yang selama ini tampil religius, berdakwah, dan rajin bicara soal moralitas, ternyata—jika dugaan itu benar—punya jejak gelap berupa hubungan gelap dengan perempuan muda. Tak hanya menjalin asmara ilegal, dia juga disebut-sebut memaksa sang korban untuk menggugurkan kandungan. Ironi politik dan agama bercampur dalam satu tubuh bernama kekuasaan.

Masalahnya bukan sekadar seks. Ini soal kekerasan. Soal relasi kuasa. Soal bagaimana jabatan digunakan untuk menundukkan, bukan melindungi. Dan rakyat, rupanya, sudah cukup sabar. Karena pagi ini, mereka bicara lewat kain dan benang yang digantung di tempat umum—tempat yang lebih jujur daripada ruang sidang.

Publik geram. Pasalnya, selain sebagai legislator, oknum tersebut dikenal sebagai tokoh agama. Yang di mimbar bicara akhlak, tapi di luar sana diduga melakukan sebaliknya. “Ini bukan hanya melanggar hukum, tapi menghina akal sehat masyarakat,” ujar seorang pejalan kaki yang sempat berhenti membaca spanduk di Jalan Sudirman.

Jika benar, perbuatan itu bisa dijerat banyak pasal. KUHP menyebut Pasal 285 hingga 290 bagi pemaksaan hubungan seksual dan perbuatan cabul, dengan ancaman 12 tahun penjara. Undang-Undang TPKS mengatur hukuman 15 tahun dan denda Rp500 juta untuk kekerasan seksual berbasis relasi kuasa. Belum lagi Pasal 194 UU Kesehatan tentang pemaksaan aborsi: 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.

Di luar sanksi pidana, ada pula sanksi moral dan administratif. UU Pemerintahan Daerah dan Kode Etik DPRD memberi jalan untuk teguran, skorsing, hingga pemecatan tetap. Tapi bisakah kita berharap banyak, ketika lembaga itu sendiri belum bersuara?

Hingga berita ini diturunkan, sunyi masih jadi sikap resmi DPRD Kampar dan partai tempat sang oknum bernaung. Mungkin mereka sedang rapat—atau sedang sibuk menyembunyikan dosa dengan kata-kata manis seperti "klarifikasi" atau "urusan pribadi".

Tapi rakyat tidak butuh klarifikasi. Mereka butuh keadilan. Dan kali ini, mereka tak menunggu lagi. Mereka menulisnya sendiri — di atas spanduk.*** (manalu) 

 

#Skandal DPRD Kampar