Kasus yang menjerat Gubernur Riau nonaktif Abdul Wahid kembali membuka perdebatan lama soal profesionalisme Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan ruang konstitusional warga negara untuk memperoleh keadilan. Di tengah kuatnya opini publik soal pemberantasan korupsi, langkah praperadilan kerap dianggap sebagai upaya perlawanan terhadap KPK. Padahal, secara hukum, praperadilan justru merupakan mekanisme konstitusional yang dijamin undang-undang untuk menguji sah atau tidaknya tindakan penyidik dan penuntut umum.
Jika dilihat dari berbagai putusan pengadilan, praperadilan yang dimenangkan oleh pemohon terhadap KPK bukanlah fenomena baru. Beberapa di antaranya bahkan telah menjadi yurisprudensi penting yang memperlihatkan kelemahan prosedural lembaga antirasuah tersebut.
Belajar dari Sejumlah Putusan Praperadilan
Pertama, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel dalam perkara Komjen Pol Budi Gunawan. Hakim menyatakan penetapan tersangka oleh KPK tidak sah karena prosedur formilnya tidak sesuai KUHAP. Putusan ini menjadi tonggak sejarah dan menimbulkan perdebatan besar mengenai kewenangan KPK.
Kedua, perkara Ilham Arief Sirajuddin, eks Wali Kota Makassar. Dalam putusan praperadilan Mei 2015, hakim menilai penetapan tersangka oleh KPK cacat hukum karena tidak memenuhi unsur dua alat bukti yang sah.
Ketiga, Hadi Poernomo, mantan Ketua BPK, juga memenangkan praperadilan terhadap KPK. Hakim menyebut penyidikan yang dilakukan lembaga antirasuah itu tidak sesuai tahapan hukum acara pidana, terutama dalam penerbitan Sprindik.
Selanjutnya, pada tahun 2024, muncul dua kasus serupa. Pertama, Eddy Hiariej, eks Wakil Menteri Hukum dan HAM, yang memenangkan sebagian gugatan praperadilannya karena KPK belum memenuhi unsur bukti yang kuat. Kedua, Sahbirin Noor, Gubernur Kalimantan Selatan, yang dalam putusan 12 November 2024, dinyatakan sah secara hukum memenangkan praperadilan lantaran Sprindik KPK dinilai cacat prosedur.
Mengapa Ini Penting bagi Abdul Wahid dan Masyarakat Hukum
Dari seluruh putusan tersebut, ada satu benang merah yang bisa ditarik: bukan soal siapa yang bersalah atau benar, melainkan bagaimana hukum ditegakkan secara adil dan profesional.
Bagi Abdul Wahid dan para pihak lain yang sedang berhadapan dengan KPK, praperadilan adalah hak konstitusional untuk memastikan bahwa penetapan tersangka, penyidikan, dan penuntutan berjalan sesuai hukum acara pidana.
Dalam sistem negara hukum, setiap tindakan penegak hukum harus dapat diuji. KPK bukan lembaga yang kebal dari koreksi, apalagi jika ditemukan pelanggaran prosedur dalam proses penyidikan atau penetapan tersangka.
Antara Semangat Antikorupsi dan Kepastian Hukum
Tidak bisa dipungkiri, masyarakat Indonesia masih menaruh harapan besar kepada KPK. Namun harapan tersebut harus diimbangi dengan penegakan hukum yang tidak tergesa-gesa dan tidak menabrak asas due process of law.
Jika dalam prosesnya ditemukan cacat formil, maka putusan praperadilan yang membatalkan tindakan KPK justru menjadi pengingat penting bahwa keadilan tidak hanya ditentukan oleh niat memberantas korupsi, tetapi juga oleh cara hukum dijalankan.
Sebagaimana ditegaskan Mahkamah Konstitusi, praperadilan merupakan instrumen perlindungan hak asasi warga negara dari potensi kesewenang-wenangan penegak hukum.
Praperadilan bukanlah bentuk perlawanan terhadap pemberantasan korupsi, melainkan mekanisme koreksi konstitusional agar setiap langkah penegakan hukum tetap berada di relnya.
Dengan demikian, langkah Abdul Wahid dkk mengajukan praperadilan seharusnya dipandang sebagai upaya menegakkan prinsip negara hukum, bukan melawan upaya pemberantasan korupsi.
Negara hukum sejati tidak hanya menuntut agar pelaku korupsi dihukum, tetapi juga agar proses hukum dijalankan secara adil, transparan, dan menghormati hak setiap warga negara.
Prof. Dr. H. Sufian Hamim, SH, M.Si, Pemerhati Hukum Pidana dan Ahli Hukum Administrasi Negara, UIR
#KPK #Gubernur Riau